KISAH PULAU SENUA
Alkisah, di sebuah daerah di
Natuna, Kepualauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami
bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka
memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau
Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut,
terutama karang dan siput.
Ketika
pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana
umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut
mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan),
kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan
istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat
perhiasan. Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau
Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh
persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah,
seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.
“Jika
suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti
akan datang.” Pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu. “Terima
kasih, Mak!” ucap Mai Lamah dengan senang hati. Begitu pula warga Bunguran
lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya,
sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah
merasa menjadi penduduk setempat. "Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik
tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita
sebagai saudara sendiri,“ kata Mail Lamah kepada suaminya. "Begitulah
kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,“ pungkas Baitusen. Waktu
terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput.
Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat
matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah
pesisir Pulau Bunguran Timur.
Pada
suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan
ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk
teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa
dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang
kering di Bandar Singapura dan di Pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah
mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke
Negeri Singapura dan Cina.
Akhirnya,
hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya.
Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan
pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan
Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan
sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di
pelabuhan Bunguran sebelah timur. Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai
saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika
dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar
yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam
oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai
Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu
hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.
Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah
berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak dan wangi-wangian. Bukan hanya
penampilannya saya yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia
berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para
tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan
asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu,
ia pun menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit). Pada suatu hari, Mak
Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak
Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.
"Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk
menentukan luas tanah/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu
akan membayar hutangmu?“ Mai Lamah mencemooh Mak Semah. Mendengar cemoohan itu,
Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mak Lamah yang juga hadir di
tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya. "Istriku, penuhilah
permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah
banyak membantu kita.” “Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu,
sekarang ya sekarang!“ seru Mai Lamah dengan ketus. Begitulah sikap dan
perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk
meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan
untuk bergaul dengannya. Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan
pertolongan tetangganya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau
seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak
Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka
sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah. "Ah, buat apa
menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi
baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari harta benda,” cetus
Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah. Baitusen yang tidak tega
lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk
mencari bidan. "Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!“, ajak Baitusen
sambil memapah istrinya naik ke perahu. "Bang! Jangan lupa membawa serta
peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!“ seru Mai Lamah sambil
menahan rasa sakit. “Baiklah, Istriku!” jawab Baitusen. Setelah mengantar
istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti
emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau
seberang. Dengan susah paya, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus
gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air
laut pun semakin banyak yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan,
perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti
emas dan perak ke dasar laut. Sementara Baitusen dan istrinya berusaha
menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bunguran Timur mengikuti
arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut,
karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin,
kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya.
Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat
dari kulit kayu terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai
Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang
kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu, angina pun
bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara
guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma
menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu
berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut
dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan
perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih
atau lebih dikenal dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran terkenal
sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
Demikian
cerita legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada
dua pesan modal yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari
sifat kedekut (pelit), dan tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Pertama,
akibat buruk dari sifat kedekut (pelit). Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai
Lamah yang tidak mau membantu para tetangganya yang membutuhkan pertolongan.
Akibatnya, para warga pun menjauhinya dan ketika ia membutuhkan pertolongan,
para warga pun enggan untuk menolongnya.
- Kisah Pulau Senua merupakan kisah tentang asal mula Pulau Senua yang terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur, Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang Burung layang-layang putih ini merupakan penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah.


0 komentar:
Posting Komentar